Sekilas Tentang Perang bubat, Peristiwa Perang Bubat diawali
dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri
putri Dyah
Pitaloka Citraresmi dari
Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena
beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman
pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.[rujukan?]
Namun catatan sejarah Pajajaran
yang ditulis Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis Yoseph Iskandar
menyebutkan bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan
yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit,
dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini
juga tercatat dalam Pustaka
Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran.
Meskipun demikian, catatan sejarah Pajajaran tersebut dianggap lemah
kebenarannya, terutama karena nama Dyah Lembu Tal adalah nama laki-laki.
Hayam Wuruk memutuskan untuk
memperistri Dyah Pitaloka. Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk
mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamarnya.
Upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri
Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora
Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin
perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal
tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan
kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.
Linggabuana memutuskan untuk tetap
berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis
leluhur dua negara tersebut. Berangkatlah Linggabuana bersama rombongan Sunda
ke Majapahit, dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Melihat Raja Sunda datang ke Bubat
beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit,
maka timbul niat lain dari Mahapatih Gajah Mada yaitu untuk menguasai Kerajaan Sunda, sebab
untuk memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya tersebut,
maka dari seluruh kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan hanya kerajaan
sundalah yang belum dikuasai Majapahit. Dengan makksud tersebut dibuatlah
alasan oleh Gajah Mada yang menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di
Pesanggrahan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada
Majapahit, sesuai dengan Sumpah Palapa yang pernah ia ucapkan pada masa sebelum Hayam
Wuruk naik tahta. Ia mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan
sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda
takluk Negeri Sunda dan mengakuisuperioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk
sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut,
karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.
Kemudian terjadi insiden
perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini
diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang
terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan
mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah
Mada tetap dalam posisi semula.
Belum lagi Hayam Wuruk memberikan
putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke
Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas
Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana
menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah
Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan
pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri
kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya
Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda, serta putri Dyah
Pitaloka.
Hayam Wuruk menyesalkan tindakan
ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa)
dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk
menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka untuk menyampaikan
permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang
Bunisora Suradipati yang
menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua
peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil
hikmahnya.
Akibat peristiwa Bubat ini,
dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada
menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (1364). Akibat
peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan
peraturan esti larangan ti
kaluaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar
lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah
dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar